TAREKAT QODIRIYAH

Tumbuhnya tarekat dalam Islam sesungguhnya bersamaan dengan kelahiran agama Islam itu sendiri, yaitu sejak Nabi Muhammad saw diutus menjadi Rasul. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pribadi Nabi Muhammad saw sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang kali melakukan tahannust dan khalwat di Gua Hira’ di samping untuk mengasingkan diri dari masyarakat Makkah yang sedang mabuk mengikuti hawa nafsu keduniaan. Tahhanust dan Khalwat nabi adalah untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh problematika dunia yang kompleks tersebut.

Proses khalwat nabi yang kemudian disebut tarekat tersebut sekaligus diajarkannya kepada Sayyidina Ali ra. sebagai cucunya. Dan dari situlah kemudian Ali mengajarkan kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya sampai kepada Syeikh Abdul Qodir Jaelani, sehingga tarekatnya dinamai Qodiriyah. Sebagaimana dalam silsilah tarekat Qadiriyah yang merujuk pada Ali dan Abdul Qadir Jaelani dan seterusnya adalah dari Nabi Muhammad saw, dari Malaikat Jibril dan dari Allah Swt.

Tarekat Qodiryah didirikan oleh Syeikh Abdul Qodir Jaelani (wafat 561 H/1166M) yang bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost al-Jaelani. Lahir di di Jilan tahun 470 H/1077 M dan wafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al-Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al-Ghazali. Tapi, al-Ghazali tetap belajar sampai mendapat ijazah dari gurunya yang bernama Abu Yusuf al-Hamadany (440-535 H/1048-1140 M) di kota yang sama itu sampai mendapatkan ijazah.

Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Abdul Qadir Jaelani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baggdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpinan anak kedua Abdul Qadir Jaelani, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Bagdad pada tahun 656 H/1258 M.

Sejak itu tarekat Qodiriyah terus berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria yang diikuti oleh jutaan umat yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia.Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di India misalnya baru berkembang setelah Muhammad Ghawsh (w 1517 M) juga mengaku keturunan Abdul Qodir Jaelani.Di Turki oleh Ismail Rumi (w 1041 H/1631 M) yang diberi gelar (mursyid kedua). Sedangkan di Makkah, tarekat Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.

Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes.Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syeikh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Abdul Qadir Jaelani sendiri,”Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya.”

Mungkin karena keluwesannya tersebut, sehingga terdapat puluhan tarekat yang masuk dalam kategori Qidiriyah di dunia Islam. Seperti Banawa yang berkembang pada abad ke-19, Ghawtsiyah (1517), Junaidiyah (1515 M), Kamaliyah (1584 M), Miyan Khei (1550 M), Qumaishiyah (1584), Hayat al-Mir, semuanya di India. Di Turki terdapat tarekat Hindiyah, Khulusiyah, Nawshahi, Rumiyah (1631 M), Nabulsiyah, Waslatiyyah.Dan di Yaman ada tarekat Ahdaliyah, Asadiyah, Mushariyyah, ‘Urabiyyah, Yafi’iyah (718-768 H/1316 M) dan Zayla’iyah. Sedangkan di Afrika terdapat tarekat Ammariyah, Bakka’iyah, Bu’ Aliyya, Manzaliyah dan tarekat Jilala, nama yang biasa diberikan masyarakat Maroko kepada Abdul Qodir Jilani. Jilala dimasukkan dari Maroko ke Spanyol dan diduga setelah keturunannya pindah dari Granada, sebelum kota itu jatuh ke tangan Kristen pada tahun 1492 M dan makam mereka disebut “Syurafa Jilala”.

Dari ketaudanan nabi dan sabahat Ali ra dalam mendekatkan diri kepada Allah swt tersebut, yang kemudian disebut tarekat, maka tarekat Qodiriyah menurut ulama sufi juga memiliki tujuan yang sama. Yaitu untuk mendekat dan mendapat ridho dari Allah swt.Oleh sebab itu dengan tarekat manusia harus mengetahui hal-ikhwal jiwa dan sifat-sifatnya yang baik dan terpuji untuk kemudian diamalkan, maupun yang tercela yang harus ditinggalkannya.

Misalnya dengan mengucapkan kalimat tauhid, dzikir “Laa ilaha Illa Allah” dengan suara nyaring, keras (dhahir) yang disebut (nafi istbat) adalah contoh ucapan dzikir dari Syiekh Abdul Qadir Jaelani dari Sayidina Ali bin Abi Thalib ra, hingga disebut tarekat Qodiriyah. Selain itu dalam setiap selesai melaksanakan shalat lima waktu (Dhuhur, Asar, Maghrib, Isya’ dan Subuh), diwajibkan membaca istighfar tiga kali atau lebih , lalu membaca salawat tiga kali, Laailaha illa Allah 165 (seratus enam puluh lima) kali. Sedangkan di luar shalat agar berdzikir semampunya.

Dalam mengucapkan lafadz Laa pada kalimat “Laa Ilaha Illa Allah” kita harus konsentrasi dengan menarik nafas dari perut sampai ke otak.

Kemudian disusul dengan bacaan Ilaha dari arah kanan dan diteruskan dengan membaca Illa Allah ke arah kiri dengan penuh konsentrasi, menghayati dan merenungi arti yang sedalam-dalamnya, dan hanya Allah swt-lah tempat manusia kembali. Sehingga akan menjadikan diri dan jiwanya tentram dan terhindar dari sifat dan perilaku yang tercela.

Menurut ulama sufi (al-Futuhat al-Rubbaniyah), melalui tarekat mu’tabarah tersebut, setiap muslim dalam mengamalkannya akan memiliki keistimewaan, kelebihan dan karomah masing-masing. Ada yang terkenal sebagai ahli ilmu agama seperti sahabat Umar bin Khattab, ahli syiddatil haya’ sahabat Usman bin Affan, ahli jihad fisabilillah sahabat Hamzah dan Khalid bin Walid, ahli falak Zaid al-Farisi, ahli syiir Hasan bin Tsabit, ahli lagu Alquran sahabat Abdillah bin Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab, ahli hadis Abi Hurairah, ahli adzan sahabat Bilal dan Ibni Ummi Maktum, ahli mencatat wahyu dari Nabi Muhammad saw adalah sahabat Zaid bin Tsabit, ahli zuhud Abi Dzarr, ahli fiqh Mu’ad bin Jabal, ahli politik peperangan sahabat Salman al-Farisi, ahli berdagang adalah Abdurrahman bin A’uf dan sebagainya.

Bai’at

Untuk mengamalkan tarekat tersebut melalui tahapan-tahan seperti pertama, adanya pertemuan guru (syeikh) dan murid, murid mengerjakan salat dua rakaat (sunnah muthalaq) lebih dahulu, diteruskan dengan membaca surat al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Nabi Muhammad saw. Kemudian murid duduk bersila di depan guru dan mengucapkan istighfar, lalu guru mengajarkan lafadz Laailaha Illa Allah, dan guru mengucapkan “infahna binafhihi minka” dan dilanjutkan dengan ayat mubaya’ah (QS Al-Fath 10). Kemudian guru mendengarkan kalimat tauhid (Laa Ilaha Illallah) sebanyak tiga kali sampai ucapan sang murid tersebut benar dan itu dianggap selesai. Kemudian guru berwasiat, membaiat sebagai murid, berdoa dan minum.

Kedua, tahap perjalanan. Tahapan kedua ini memerlukan proses panjang dan bertahun-tahun. Karena murid akan menerima hakikat pengajaran, ia harus selalu berbakti, menjunjung segala perintahnya, menjauhi segala larangannya, berjuang keras melawan hawa nafsunya dan melatih dirinya (mujahadah-riyadhah) hingga memperoleh dari Allah seperti yang diberikan pada para nabi dan wali.

Tarekat (thariqah) secara harfiah berarti “jalan” sama seperti syariah, sabil, shirath dan manhaj. Yaitu jalan menuju kepada Allah guna mendapatkan ridho-Nya dengan mentaati ajaran-ajaran-Nya. Semua perkataan yang berarti jalan itu terdapat dalam Alquran, seperti QS Al-Jin:16,” Kalau saja mereka berjalan dengan teguh di atas thariqah, maka Kami (Allah) pasti akan melimpahkan kepada mereka air (kehidupan sejati) yang melimpah ruah”.

Istilah thariqah dalam perbendaharaan kesufian, merupakan hasil makna semantik perkataan itu, semua yang terjadi pada syariah untuk ilmu hukum Islam.Setiap ajaran esoterik/bathini mengandung segi-segi eksklusif.Jadi, tak bisa dibuat untuk orang umum (awam).Segi-segi eksklusif tersebut misalnya menyangkut hal-hal yang bersifat “rahasia” yang bobot kerohaniannya berat, sehingga membuatnya sukar dimengerti.Oleh sebab itu mengamalkan tarekat itu harus melalui guru (mursyid) dengan bai’at dan guru yang mengajarkannya harus mendapat ijazah, talqin dan wewenang dari guru tarekat sebelumnya. Seperti terlihat pada silsilah ulama sufi dari Rasulullah saw, sahabat, ulama sufi di dunia Islam sampai ke ulama sufi di Indonesia.

Qodiriyah di Indonesia

Seperti halnya tarekat di Timur Tengah.Sejarah tarekat Qodiriyah di Indonesia juga berasal dari Makkah al-Musyarrafah. Tarekat Qodiriyah menyebar ke Indonesia pada abad ke-16, khususnya di seluruh Jawa, seperti di Pesantren Pegentongan Bogor Jawa Barat, Suryalaya Tasikmalaya Jawa Barat, Mranggen Jawa Tengah, Rejoso Jombang Jawa Timur dan Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. Syeikh Abdul Karim dari Banten adalah murid kesayangan Syeikh Khatib Sambas yang bermukim di Makkah, merupakan ulama paling berjasa dalam penyebaran tarekat Qodiriyah.Murid-murid Sambas yang berasal dari Jawa dan Madura setelah pulang ke Indonesia menjadi penyebar Tarekat Qodiriyah tersebut.

Tarekat ini mengalami perkembangan pesat pada abad ke-19, terutama ketika menghadapi penjajahan Belanda. Sebagaimana diakui oleh Annemerie Schimmel dalam bukunya “Mystical Dimensions of Islam” hal.236 yang menyebutkan bahwa tarekat bisa digalang untuk menyusun kekuatan untuk menandingi kekuatan lain. Juga di Indonesia, pada Juli 1888, wilayah Anyer di Banten Jawa Barat dilanda pemberontakan. Pemberontakan petani yang seringkali disertai harapan yang mesianistik, memang sudah biasa terjadi di Jawa, terutama dalam abad ke-19 dan Banten merupakan salah satu daerah yang sering berontak.

Tapi, pemberontakan kali ini benar-benar mengguncang Belanda, karena pemberontakan itu dipimpin oleh para ulama dan kiai. Dari hasil penyelidikan (Belanda, Martin van Bruneissen) menunjukkan mereka itu pengikut tarekat Qodiriyah, Syeikh Abdul Karim bersama khalifahnya yaitu KH Marzuki, adalah pemimpin pemberontakan tersebut hingga Belanda kewalahan. Pada tahun 1891 pemberontakan yang sama terjadi di Praya, Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan pada tahun 1903 KH Khasan Mukmin dari Sidoarjo Jatim serta KH Khasan Tafsir dari Krapyak Yogyakarta, juga melakukan pemberontakan yang sama.

Sementara itu organisasi agama yang tidak bisa dilepaskan dari tarekat Qodiriyah adalah organisasi tebrbesar Islam Nahdlaltul Ulama (NU) yang berdiri di Surabaya pada tahun 1926.Bahkan tarekat yang dikenal sebagai Qadariyah Naqsabandiyah sudah menjadi organisasi resmi di Indonesia.

Juga pada organisasi Islam Al-Washliyah dan lain-lainnya. Dalam kitab Miftahus Shudur yang ditulis KH Ahmad Shohibulwafa Tadjul Arifin (Mbah Anom) di Pimpinan Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya Jabar dalam silsilah tarekatnya menempati urutan ke-37, sampai merujuk pada Nabi Muhammad saw, Sayyidina Ali ra, Abdul Qadir Jilani dan Syeikh Khatib Sambas ke-34.

Sama halnya dengan silsilah tarekat almrhum KH Mustain Romli, Pengasuh Pesantren Rejoso Jombang Jatim, yang menduduki urutan ke-41 dan Khatib Sambas ke-35. Bahwa beliau mendapat talqin dan baiat dari KH Moh Kholil Rejoso Jombang, KH Moh Kholil dari Syeikh Khatib Sambas ibn Abdul Ghaffar yang alim dan arifillah (telah mempunyai ma’rifat kepada Allah) yang berdiam di Makkah di Kampung Suqul Lail.

Silsilahnya.

1. M Mustain Romli, 2, Usman Ishaq, 3. Moh Romli Tamim, 4. Moh Kholil, 5. Ahmad Hasbullah ibn Muhammad Madura, 6. Abdul Karim, 7. Ahmad Khotib Sambas ibn Abdul Gaffar, 8.Syamsuddin, 9.Moh.Murod, 10. Abdul Fattah, 11. Kamaluddin, 12.Usman, 13.Abdurrahim, 14. Abu Bakar, 15. Yahya, 16.Hisyamuddin, 17.Waliyuddin, 18.Nuruddin, 19.Zainuddin, 20.Syarafuddin, 21.Syamsuddin, 22. Moh Hattak, 23. Syeikh Abdul Qadir Jilani, 24. Ibu Said Al-Mubarak Al-Mahzumi, 25. Abu Hasan Ali al-Hakkari, 26.Abul Faraj al-Thusi, 27.Abdul Wahid al-Tamimi, 28.Abu Bakar Dulafi al-Syibli, 29.Abul Qasim al-Junaid al-Bagdadi, 30.Sari al-Saqathi, 31.Ma’ruf al-Karkhi, 32.Abul Hasan Ali ibn Musa al-Ridho, 33.Musa al-Kadzim, 34.Ja’far Shodiq, 35.Muhammad al-Baqir, 36.Imam Zainul Abidin, 37. Sayyidina Husein, 38. Sayyidina Ali ibn Abi Thalib, 39. Sayyidina Nabi Muhammad saw, 40. Sayyiduna Jibril dan 41. Allah Swt. Masalah silsilah tersebut memang berbeda satu sama lain, karena ada yang disebut seecara keseluruhan dan sebaliknya. Di samping berbeda pula guru di antara para kiai itu sendiri.

Ajaran Tarikat Qadiriyah

Pada dasarnya ajaran Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani tidak ada perbedaan yang mendasar dengan ajaran pokok Islam, terutama golongan Aahlussunnah Waljama’ah. Sebab, Syaikh ‘Abd al-Qadir adalah sangat menghargai para pendiri mazhab fiqih yang empat dan teologi Asy’ariyah. Dia sangat menekankan pada tauhid dan akhlak yang terpuji. Menurut al-Sya’rani, bahwa bentuk dan karakter Tarekat syaikh al-Qadir Jilani adalah tauhid, sedangkan pelaksanaannya tetap menempuh jalur syariat lahir dan batin. Syaikh berkata kepada para sahabatnya, “Kalian jangan berbuat bid’ah.Taatlah kalian, jangan menyimpang.” Ucapannya yang lain: “Jika padamu berlaku sesuatu yang telah menyimpang dari batas-batas syariat, ketahuilah bahwa kalian dilanda fitnah, syetan telah mempermainkanmu. Maka kembalilah pada hukum syariat dan berpeganglah, tinggalkan hawa nafsu, kerena segala sesuatu yang tidak dibenarkan syariat adalah batil.”[1]

Menurut Syaikh ‘Ali ibn al-Hayti menilai bahwa tarekat Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani adalah pemurnian aqidah dengan meletakkan diri pada sikap beribadah, sedangkan ‘Ady ibn Musafir mengatakan bahwa karakter Tarekat Qadiriyah adalah tunduk di bawah garis keturunan takdir dengan kesesuaian hati dan roh serta kesatuan lahir batin. Memisahkan diri dari kecenderungan nafsu,[2] serta mengabaikan keinginan melihat manfaat, mudarat, kedekatan maupun perasan jauh.[3]

Adapun ajaran spiritual Syaikh ‘Abd al-Qadir berakar pada konsep tentang dan pengalamannaya akan Tuhan. Baginya, Tuhan dan tauhid bukanlah suatu mitos teologis maupun abstraksi logis, melainkan merupakan sebuah pribadi yang kehadiran-Nya merengkuh seluruh pengalaman etis, intelektual, dan estetis seorang manusia. Ia selalu merasakan bahwa  Tuhan senantiasa hadir. Kesadaran akan kehadiran Tuhan  di segenap ufuk kehidupannya merupakan tuntunan dan motif bagi kebangunan hidup yang aktif sekaligus memberikan nilai transeden  pada kehidupan. Nasehat Rasulullah dalam hadis, “Sembahlah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya; dan jika engkau tidak dapat melihat-Nya,ketahuilah bahwa Dia melihatmu,” merupakan semboyan hidupnya, yang diterjemahkan dalam praktik kehidupan sehari-hari. Khotbahnya menggambarkan keluasan kesadarannya akan kehadiran Tuhan yang serba meliput. Ia meyakini bahwa kesadaran ini membersihkan dan memurnikan hati seorang manusia, serta mengakrabkan hati dengan alam roh.[4]

Suatu hari, ketika kesadarannya sedang berada dalam keadaan ekstase, Syiakh ‘Abd al-qadir Jilani brkat pada dirinya sendiri, “Aku merindukan suatu kematian yang dalamnya tiada lagi kehidupan dan sebuah kehidupan yang tiada kematian di dalamnya.”

Kemudian Syaikh ‘Abd al-Qadir menjelaskan makna ungkapan di atas, yaitu dengan bertanya kepada dirinya. Maka aku bertanya, kematian macam apa yang tidak memiliki kehidupan dan kehidupan macam apa yang memiliki kematian di dalamnya. Kujawab, “Kematian yang tidak memiliki kehidupan di dalamnya adalah kematianku dari seluruh manusia, dengan begitu aku tidak lagi hidup bahkan ditemui di antara mereka. Dan kehidupan yang tidak memiliki kematian adalah kehidupanku yang menyertai perbuatan Tuhanku, sedemikian rupa sehingga di dalam keadaan itu, diriku tidak lagi memiliki eksistensi dan kematianku adalah eksistensiku bersama-Nya.“Setelah aku mengerti ternyata inilah yang paling berharga dari seluruh tujuan hidupku.[5]

Dalam pandangannya, kehidupan yang ter mulia adalah kehidupan orang-orang yang sepenuhnya membaktikan diri pada Tuhan  semata. Dan kerena alasan ini pulalah manusia dihadirkan Tuahan, seperti yang termaktub dalam Al-Qur’an, “Dan tidak aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembahKu” (QS. Al-Zariyat[51]: 56). Semakin manusia berjuang “hidup demi Tuhan”, dirinya akan semakin dekat  dengan terwujudnya tujuan kehidupan ini. Seorang manusia harus menyerahkan kehidupannya, bilamana ia berhasrat memburu kesadaran Ilahiah “Eksistensi yang sadar Tuhan” memberikan kekuatan spiritual pada manusia; ia mengangkat pergulatan keras duniawi untuk memperoleh kesenangan hidup dan keuntungan yang sedikit, menuju kebahagiaan dan ketenangan spiritual, dan membuetnya akrab dengan sumber segala kekuatan.

Ajaran Syaikh ‘Abd al-qadir selalu menekankan pada pensucian diri dari nafsu dunia. Kerena itu, dia memberiikan beberapa petunjuk untuk mencapai kesucian diri yang tertinggi.Adapun beberapa ajaran twrsebut adalah taubat, zuhud, tawakal, syukur, ridha, dan jujur.

a.       Taubat

Taubat adalah kembali kepada Allah dengan mengurai ikatan dosa yang terus-menerus dari hati kemudian melaksanakan setiap hak Tuhan.Ibnu abbas ra. Berkata: ”Taubat al-nashuha adalah pentesalan dalam hati, permohonan ampun dengan lisan , meninggalakan  dengan anggota badan, dan berniat tidak akan mengulangi lagi.” Jadi taubat al-nashuha tidak hanya di mulut yang menyatakan penyesalan dan bertaubat, sementara hati tidak mengikuti apa yang dikatakan oleh mulut, tidak bersungguh-sungguh bermaksud untuk menghentikan perbuatan-perbuatan dosa itu, dan tidak melakukan tindakan nyata untuk menghentikanya.[6]

Taubat ini sangat dianjurkan kepada setiap orang mukmin, sebagaimana firman Allah, “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”(at-taubah: 31)

Menurut Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani, taubat itu ada dua macam, yaitu:

  1. Taubat yang berkaitan dengan sesama manusia. Taubat ini tidak terealisasi, kecuali dengan menghindari kezaliman, memberikan hak kepada yang berhak, dan mengembalikan kepada pemiliknya.
  2. Taubat yang berkaitan dengan hak Allah. Taubat ini dilakukan dengan cara selalu mengucakan istigfar dengan lisan, menyesal dalam hati, dan betekad untuk tidak mengulanginya lagi di masa mendatang.

b.      Zuhud

Zuhud secara bahasa adalah zahada fihi, wazahada’anhu, dan wazahadan yaitu berpaling darinya dan meninggalaknnya kerena dosa. Sedangkan secara istilah zuhud menurut pendapat yang paling baik adalah dari Ibn Qadamah al-Maqdisi, bahwa zuhud merupakan gambaran tentang menhindari dari mencintai sesuatu yang menuju kepada sesuatu yang lebih baik darinya. Atau dengan istilah lain, menghindari dunia kerena tahu kehinaannya bila dibandingkan dengan kemahalan akhirat.

Menurut syaikh ‘Abd al-Qadir jilani, bahwa zuhud ada dua macam, yaitu: zahid hakiki (mengeluarkan dunia dari hatinya) dan mutazahid shuwari/ zuhud lahir (mengeluarkan dunia dari hadapannya). Namun hal ini tidak berarti bahwa seorang zahid hakiki menolak rezeki yang diberikan Allah kepadanya, tetapi dia mengambilnya lalu digunakan untuk ketaatan kepada Allah.

Zuhud memang membawa kesucian kepada diri si salik.Zuhud mengajarkan betapa si salik harus menahan hawa nafsu (sesuatu yang kita sayangi) serta menolak semua tuntutannya.Kita tahu bahwa dalam berbagai hal, hawa nafsulah puncak segala kecelakaan diri, baik di dunia, terlebih lagi di akhirat.Oleh kerena itu, nafsu tidak boleh dijadikan sebagai teman, justru harus dianggap sebagai lawan dan pembinasa manusia.[7]

c.       Tawakal

Tawakal artinya berserah diri (dalam bahasa arab, tawakal), yakni salah satu sifat mulian yang harus ada pada diri ahli sufi. Bila ia benar-benar telah mengenal Tuhannya melalui makrifat yang telah dicapainya, tidak mungkin sifat tawakal tersisih dari dirinya. Sebab, mustahil jika seorang sufi yang selalu berada di sisi Tuhan tidak memiliki jiwa tawakal. Syaikh ‘Abd al-Qadir menekankan bahwa tawakal berada di antara pintu-pintu iman, sedangkan iman tidak terurus dengan baik kecuali dengan adanya ilmu, hal dan amal. Intinya, tawakal akan terrah dengan ilmu dan ilmu menjadi pokok tawakal, sementara amal adalah buah dan maksud tawakal itu sendiri.[8]

Dengan demikian, hakikat tawakal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah dan membersihkan diri dari gelapnya pilihan, tunduk dan patuh kepada hukum dan takdir. Sehingga dia yakin bahwa tidak ada perubahan dalam bagian, apa yang merupakan bagiannya tidak akan hilang dan apa yang tidak ditakdirkan untuknya tidak akan diterima. Maka hatinya merasa tenang kerenanya dan merasa nyaman dengan janji Tuhannya.

Syaikh ‘Abd al-Qadir menekankan pentingnya tawakal dengan mengutip maksud sebuah sabda Nabi, “Bila seseorang menyerahkan dirinya secara penuh kepada Allah, maka Allah akan mengaruniakan apa saja yang dimintanya.Begitu juga sebaliknya, bila dengan bulat ia menyerahkan dirinya kepada dunia, maka Allah akan membiarkan dirinya dikuasai oleh dunia.”Semakin banyak orang yang mengejar dunia, maka semakin lupa dia akan akhirat,sebagaimana dinyatakan dalamsabda Nabi, “Apabila inngatan manusia telah condong kepada dunia, maka maka ingatannya kepada akhiratakan berkurang.[9]

Di sinilah letak perbandingan antara manusia yang mengejar dunia, sehingg semua hati dan perasaannya ditumpukam kepada dunia yang di kejarnya.Berusahalah dia siang dan malam kerena dunia, padahal urusan keduniaan itu ada akhirnya. Semakin banyak yang diraihnya, semakin serakah ia untuk terus  berusaha mendapatkannya. Sebaliknya, bila ingatan manusia condong kepada akhirat maka ingatannya terhadap dunia akan berkurang. Oleh kerena itu, pilihlah akhirat daripada dunia, kerena akhirat lebih baik bagimu.[10]

d.      Syukur

Syukur adalh ungkapan rasa terima kasih atas nikmat yang diterima, baik lisan, tangan, maupun hati. Menurut Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani hakikat syukur adalah mengakui nikmat Allah kerena Dialah Pemilik karunia dan pemberian sehingga hati mengakui bahwa segala nikmat berasal dari Allah dan patuh kepada syariat-Nya. Syiakh ‘Abd al-Qadir Jilani menyatakan bahwa hakikat syukur adalah mengakui nikmat Allah Dialah pemilik karunia, Sehingga hati mengakui bahwa segala nikmat berasal dari Allah SWT.Dengan demikian, syukur adalah pekerjaan hati dan anggota badan.

Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani membagi syukur menjadi tiga macam, pertama syukur dengan lisan, yaitu dengan mengakui adanya nikmat dan merasa tenang.Dalam hal ini si penerima nikmat mengucapkan nikmat Tuhan dengan segala kerendahan hati dan ketundukan. Kedua, syukur demngan badan dan anggota badan, yaitu dengan cara melaksanakan dan pengabdian serta melaksanakan ibadah sesuai perintah Allah. Dala hal ini, si penerima nikmat selalu berusaha menjalanka perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya.Ketiga, syukur dengan hati, yaitu beriti’kaf/ berdiam ddiri di atas tikar Allah dengan senantiasa menjaga hak Allah yang wajib dikerjakan.Dalam hal ini, si penerima nikmat mengakui dari dalam hatinyabahwa semua nikmat itu berasal dari Allah SWT.

e.       Sabar

Sabar adalah tidak mengeluh kerena sakitnya musibah yang menimpa kita kecuali mengeluh kepada Allah kerena Allah SWT.Menguji Nabi Ayyub as.Dengan firman-Nya, “Kami mendapatinya sebagai orang-orang yang sabar.” Padahal beliau berdo’a dan mengeluh kepada Allah untuk menghilangkan musibah yang menimpanya seraya berkata, “Dan (ingatlah kisah) Ayyub, ketika ia menyeru Tuhannya, ‘(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antarasemua penyayang.” (al-Anbiya’: 83).

Menurut Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani, sabar ada tiga macam, yaitu:

  1. Bersabar kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
  2. Bersabar bersama Allah, yaitu bersabar terhadap ketetapan Allah dan perbuatan-Nya terhadapmu dari berbagai macam kesulitan dan musibah.
  3. Bersabar atas Allah, hyaitu bersabar terhadap rejeki, jalan keluar, kecukupan, pertolongan, dan pahala yang dijanjikan Allah di kampung akhirat.[11]

f.       Ridha

Ridha adalah kebahagiaan hati dalam menerima ketetapan (takdir). Secara umum para salik berpendapat bahwa orang yang ridha adalah orang yang menerima ketetapan Allah dengan berserah diri, pasrah tanpa menunjukan penetangan terhadap apa yang dilakukan oleh Allah. Syaikh ‘Abd al-Qadir  mengutip ayat al-Qur’an tentang perlunya sikap ridha, “Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat dari-Nya, keridhaan dan surga.Mereka memperolehdi dalamnya kesenangan yang kekal.”(At-Taubah: 21). Kemudian Rasulullah bersabda, “Yang akan merasakan manisnya iman adalah orang yang ridha Allah menjadi Tuhannya, Islam menjadi agamanya, dan Muhammad menjadi Rasulnya.”[12]

Tidak diragukan lagi bahwa ridha dapat menenteramakanjiwa manusia  dan memasukan faktor kebahagiaan dan kelembutan di dalamnya; kerena seorang hamba yang ridhadan menerima apa yang dipilihkan Allah untuknya, dia tahu bahwa yang dipilihkan Allah untuknya terbaik baginya di segala macam keadaan. Keridhaan ini akan meringankan hidup manusia, sehingga dia akan merasa tenang, hilang rasa gundah, dan kegalauan.[13]

g.      Jujur

Secara bahasa jujur adalah menetapakan hukum sesuai dengan kenyataan. Sedangkan dalam istilah sufi dan menurut Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani, Jujur adalah mengatakan yang benar dalam kondisi apapun, baik menguntungkan maupun yang tidak menguntungkan.

Kejujuran merupakan derajat kesempurnaan manusia tertinggi dan seseorang tidak akan berlaku jujur, kecuali jika dia memiliki jiwa yang baik, hati yang bersih, pandangan yang lurrus, sifat yang mulia, lidah yang bersih, dan hati yang dihiasi dengan keimanan, keberanian dan kekuatan.itulah yang dilakukan oleh Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani ketika beliau menghadapi para perampok pada saat beliau berangkat menuju baghdad dari negeri Jilan.

Kejujuran adalah kedudukan yang tertinggi dan jalan yang paling lurus, yang dengannnya dapat dibedakan antara orang munafik dan seorang yang beriman.Kejujuran adalah rohnya perbuatan, tiang keimanan, dan satu tingkat di bawah derajat kenabian.Syaikh ‘Abdal-Qadir mengutip ayat al-Qur’an untuk menjelaskan pentingnya sikap jujur ini dilaksanakan, “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu kepada Allah dan hendaklah kamu bersama-sama orang yang benar.” (at-Taubah: 119).

Syaikh ‘Abd al-Qadir Jilani membedakan antara alshadaq (orang jujur) dengan alshiddiq (orang yang sangat jujur).Alhadiq adalah isimlazim dari kata al-shidq, sedangkan al-shiddiq adalah untuk menunjukan kejujuran yang sangat tinggi, sehingga kejujuran merupakan jalan kehidupan baginya.Sikap jujur ini sangat diperlukan dalam ajaran tasawuf kerena seseorang tidak dapat berdekatan dengan Allah kecuali dengan sikap jujur dan bersih.[13]

Rujukan [13]